Sistem Politik Indonesia (CIVIL SOCIETY, MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA)
Sistem Politik Indonesia (CIVIL SOCIETY, MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA)
“CIVIL SOCIETY,
MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA”
Makalah
Di susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah
“Sistem Politik Indonesia” yang diampuh
oleh Khoiron, SAP., M.IP
Nizar Subqi Hamza (21601091151)
JURUSAN
ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS
ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS
ISLAM MALANG
APRIL
2017
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum. War. Wab
Alhamdulillah, puji
dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas taufiq, hidayah
‘inayah-Nya, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun memerlukan waktu
yang cukup lama. Selanjutnya shalawat serta salam kami hanturkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga dan sahabat beliau.
Makalah
tentang masyarakat sipil yang berjudul Civil Society, Masyarakat Sipil
di Indonesia ini, merupakan tugas terstruktur dalam mata kuliah Sistem
Politik Indonesia yang dibimbing oleh bapak Khoiron,
SAP., M.IP
Dalam
penulisan ini selain cukup memakan waktu dan tenaga, penyusun juga menyadari
bahwa penulisan makalah ini dapat terwujud semata-mata disamping pertolongan
Allah SWT, juga karena dorongan serta bantuan dari beberapa pihak. Untuk itu,
penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, terutama kepada dosen pembimbing bapak Khoiron, SAP., M.IP juga kepada kedua orang tua, saudara dan
teman-teman yang telah mendukung terwujudnya makalah ini.
Akhirukalam, dengan
penuh ikhtiar dan rasa rendah hati, penyusun menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna bagi penyusunan dan
penyempurnaan selanjutnya.dan juga penyusun
berharap kehadiran makalah ini dapat menjadi wacana dan bermanfaat bagi
kemajuan di dunia pendidikan. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif, senantiasa terbuka bagi
pembaca untuk upaya perbaikan tulisan ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai
titik tolak pembahasan ini adalah untuk menciptakan civil society di Indonesia yang kuat dalam
konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan civil
society lebih ditujukan ke arah pembentukan negara secara
gradual dengan suatu masyarakat politik yang demokratis partisipatoris,
refleksi dan lewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan kontrol atas
kecenderungan aksesif negara. Dalam civil society warga negara
didasarkan posisinya sebagai pemilik kedaulatan dan
haknya untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatas namakan rakyat.
Gagasan seperti ini mensyaratkan adanya ruang
publik yang bebas, sehingga setiap individu dalam civil society memiliki
kesempatan untuk memperkuat kemandirian dan kemampuannya dalam pengelolaan
wilayah di Indonesia.
Praktik civil society diawali dari sejarah panjang
Negara Indonesia pada pilihan strategi pembangunan masa Orde Baru. Pada saat
itu “stabilitas Politik Beku” telah membawa bangsa ini ke dalam kehidupan
politik yang cenderung menjauh dari proses demokrasi. Meskipun kompensasi dari
strategi ini telah ditempuh dengan memaksimalkan pertumbuhan ekonomi yang
menakjuban (rata-rata 7%), namun keadilan dalam pengertian substansial
hampir tidak pernah tercapai. Kemiskinan, ketimpangan, dan
ketidakberdayaan bagi lapisan masyarakat bawah selalu mewarnai dalam setiap
tahapan pembangunan. Nahkan program pemberdayaan masyarakat hanya sekedar
sebagai retorika politik negara dari pada sebagai gerakan nyata dari lapisan
masyarakat. Terbukti ketika kekuatan politik kaum buruh, petani, cendekiawan,
aktivis LSM, dan kelompok professional mengalami marginalisasi.
Civil
society juga dipahami sebagai sebagai tatanan kehidupan yang
mengiginkan kesejajaran hubungan antara warga negara dengan negara atas dasar
prinsip saling menghormati. Civil society sebenarnya merupakan suatu ide yang terus
diperjuangkan manifestasinya agar pada akhirnya terbentuk suatu masyarakat
bermoral, masyarakat sadar hukum, masyarakat beradab atau terbentuknya suatu
tatanan sosial yang baik, teratur dan progresif.
Konsep masyarakat Sipil di Indonesia sudah ada dimulai
dari rezim Orde lama (Soekarno), hingga saat ini.Pada Awal rezim Soekarno banyak muncul juga konsepsi civil society
ataupun masyarakat madani, bahkan mungkin karena kurang puasnya dengan
kebijakan pemerintah dan juga karena kelonggaran politik disebabkan karena
negara ini baru saja merdeka, kekuatan civil society bahkan mempunyai basis
militer contohnya dengan pemberontakan DII/TII dan juga RMS pada waktu
tersebut. Kemudian pada rezim Soehartao awal, konsep civil ssociety lebih
condong kepada badan-badan buatan mahasiswa,dan juga tokoh-tokohnya seperti
Kwik kian Gie dan juga WS Rendra. Adapun konsep masyarakat sipil,yang coba diterpakan
pada era Orba,di mana salah satu tokohnya, yakni Nurcholis madjid,yakni: Free
public sphere, Demokrasi, Toleran, pluralism, dan keadilan social (social
justice).
Pada masa rezim Soeharto akhir, konsep masyarakat
madani sudah muncul dengan kekuatan yang besar dengan pembuktian penggulingan
presiden Soeharto pada 21 mei 1998,namun konsep masyarakat madani ini belum memasukan
konsep pluralisme di dalamnya.Ini terbukti dengan banyaknya etnis Tionghoa yang dijadikan musuh pada
saat itu,selain itu kerusuhan yang ditimbulkan bukan hanya untuk pemerintahan
tapi juga menimbulkan korban di masyarakat.
Pada masa transisi BJ Habibie, muncul kembali civil
society seperti yang menginginkan kemerdekaan yakni fretilin(timor leste).
Dikarenakan dalam kampanyenya fretilin meminta bantuan luar negeri(Utamanya
Portugal, Australia, Amerika Serikat) dan juga memberikan tekanan pada Indonesia,
akhirnya Indonesia melepaskan timor leste. Di era Gus dur hingga SBY kini,
geliat civil society banyak bermunculan dan mempunyai banyak
motif,kekuasan(ditandai dengan munculnya banyak parpol), kemerdekaan sendiri
(RMS, Papua merdeka, GAM), Public watch(pengawas) (ICW), Pemberdayaan
masyarakat (Rumah zakat, Obor berkat), dan juga pengaduan masyarakat(Rumah
pengaduan publik)
Pasca-Reformasi Penguatan masyarakat madani (civil
society) yang dapat digunakan sebagai kontrol publik secara hakiki dapat dirumuskan
sebagai berikut: yaitu pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai warga
negara yang mandiri dapat dengan bebas dan bertindak secara aktif dalam tataran
wacana maupun praktiknya mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah
kemasyarakatan. Pada masa ini, maka artikulasi kepentingan dapat disalurkan
baik melalui individu ataupun kelompok tanpa ada tekanan dari pemegang
kekuasaan.
Manajemen negosiasi akan mewujudkan rekonsiliasi
nasional sebab kekuatan oposisi dapat ikut berperan dalam pemerintahan. Bila
ini mampu terwujud, secara otomatis akan memperbaiki kondisi ekonomi yang
ada. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan disertai dengan pemerataan
kesejahteraan sehingga dimensi keadilan mewarnai dalam setiap fase pembangunan
masyarakat. itulah manfaat dari penguatan civil society di Negara Indonesia ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian dari Civil Society ?
2. Bagaimana Strategi
Membangun Civil Society di Indonesia ?
3. Bagaimana Sejarah dan
Perkembangan Civil Society di Indonesia ?
4.
Jelaskan Pilar-Pilar Penegak Civil Society Di Indonesia?
C. TUJUAN
1. Untuk menciptakan civil society di
Indonesia yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi.
2. Untuk Meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang terjadi dan disertai dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Civil Society
Civil Society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial
yang terorganisasi dan bercirikan, anatara lain; kesukarelaan (voluntary), kesewasembadaan
(self generating), dan
keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan
keterikatan dengan normanorma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh
warganya.
Banyak
para ahli memberikan definisi tentang Civil Society yang berbeda akan tetapi
definisi tersebut tetap pada ruang lingkup yang saling berhubungan pada sebuah
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut beberapa ahli, civil society merupakan :
Menurut
Zbigniew Rau, civil society merupakan masyarakat yang berkembang dari sejarah,
yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka
bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka
yakini.
Menurut
Anwar Ibrahim, merupakan sistem sosial yang subur yang berasaskan pada prinsip
moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik
dibidang pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah mengikuti undang-undang dan
bukan nafsu atau keinginan individu.
Menurut
Eisenstadt, civil society adalah suatu masyarakat baik secara individual maupun
kelompok dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independen.
Kim
Sunhyuk mengatakan bahwa civil society adalah satu satuan yang terdiri dari
kelompok yang secar mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam
masyarakat.
Emest
Geller, civil society merupakan masyarakat yang terdiri atas institusi
pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi negara.
Dari
semua pandangan yang diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, secara umum civil
society dapat disimpulkan sebagai sebuah kelompok artau tatnan masyarakat yang
berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara. Yang memiliki ruang
publik dalam mengemukakan pendapat dan adanya lembaga-lembaga mandiri yang
dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Tipologi Civil
Society
Istilah
civil society berasal dari bahasa Latin societes civiles yang
mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 SM), seorang orator, politisi dan filosof
Roma. Sejak saat itu sampai dengan abad ke-18, pengertian civil society masih
disamakan dengan negara (the state), yakni sekelompok
masyarakat yang mendominasi seluruh kelompok lain.
Dalam
rentang waktu yang panjang itu, Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704) dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) kembali menghidupkan dan
mengembangkan istilah civil society (masyarakat sipil) dengan merujuk kepada
masyarakat dan politik. Hobbes, misalnya, berpendapat bahwa perjanjian
masyarakat diadakan oleh individu-individu untuk membentuk suatu masyarakat
politik atau negara. Locke mendefinisikan masyarakat sipil sebagai masyarakat
politik (political society) yang mana dihadapkan dengan keadaan alami (state
of nature) sekelompok manusia. Masyarakat politik itu sendiri, menurut
Rousseau yang senada dengan Hobbes, merupakan hasil dari suatu kontrak sosial.
Perlu digarisbawahi bahwa pengertian-pengertian ini lahir ketika perbedaan
antara masyarakat sipil dan negara belum dikenal, sehingga negara merupakan
bagian dari masyarakat sipil yang mengontrol pola-pola interaksi warga
negaranya.
Barulah
pada paruh kedua abad 18 Adam Ferguson (1723-1816) dan Thomas Paine (1737-1809)
memberi tekanan lain terhadap makna civil society. Civil society dan negara
dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses
pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik sebagai akibat
pencerahan (enlightment). Keduanya diposisikan dalam posisi yang diametral.
Masyarakat sipil bahkan dinilai sebagai anti tesis terhadap negara, ia harus
lebih kuat untuk mengontrol negara demi kepentingannya.
Pemahaman
ini mengundang reaksi para pemikir lainnya seperti Hegel (1770-1831) yang
beraliran idealis. Menurutnya civil society tidak dapat dibiarkan tanpa
terkontrol. Ia justru memerlukan berbagai macam aturan dan pembatasan melalui
kontrol hukum, administrasi dan politik. Lebih lanjut, Hegel membedakan
masyarakat politik (the state) dan masyarakat sipil (civil society).
Masyarakat politik adalah perkumpulan-perkumpulan yang mengandung aspek politik
yang mengayomi masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan masyarakat sipil ialah
perkumpulan merdeka yang membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat borjuis.
Karl
Marx (1818-1883) sependapat dengan Hegel dalam melihat civil society sebagai
masyarakat borjuis. Bedanya, Hegel menganggap hanya melalui negara,
kepentingan-kepentingan masyarakat yang universal dan mengandung potensi
konflik bisa terselesaikan. Dus, negara merupakan sesuatu yang ideal. Marx
berpandangan sebaliknya, ia menganggap negara tak lain sebagai badan pelaksana
kepentingan kaum borjuis. Oleh sebab itu, negara harus dihapuskan, atau harus
diruntuhkan oleh kelas proletar. Ketika negara akhirnya lenyap, maka yang
tinggal hanyalah masyarakat tanpa kelas. Visi ini berseberangan dengan visi
Hegel yang mengatakan di masa depan masyarakat sipillah yang akan runtuh dari
dalam, jika negara telah mampu mengayomi seluruh kepentingan masyarakat.
Sedangkan menurut Antonio Gramsci (1891-1937) yang juga memandang civhl society
sebagai milik kaum borjuis yang akhirnya menjadi pendukung negara, disamping
mereka memegang hegemoni, mereka juga seharusnya bisa menjalankan fungsi etis
dalam mendidik dan mengarahkan perkembangan ekonomi masyarakat. (Dawam Raharjo:
1999)
Adapun
menurut Alexis de Tocqueville (1805-1859), masyarakat sipil tidak secara a
priori subordinatif terhadap negara, tetapi lebih dari itu ia bersifat
otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjdi
kekuatan penyeimbang menghadapi intervensi negara dan tidak hanya berorientasi
pada kepentingan sendiri tetapi juga terhadap kepentingan publik. Pendap`t
Tocqueville ini kemudian diperkuat oleh Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen
Habermas (1929) dengan konsep ”a free public sphere”, sebuah wilayah di
mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap
kegiatan publik. Penciptaan ruang publik, bagi Arendt merupakan prasyarat
terciptanya civil society dan demokratisasi. Hal senada
diungkapkan Ernest Gellner (1925-1995) yang memandang perlunya ruang dan
kebebasan publik. Menurutnya civil societyadalah seperangkat
institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara dan mencegah
timbulnya tirani kekuasaan.
Secara
umum saat ini, penganut sosialis banyak mengadopsi konsep hegemoni Gramsci
dalam memahami civil society dimana hegemoni tidak lagi dilakukan secara fisik,
melainkan melalui penjinakan budaya dan ideologi yang diselenggarakan secara
terstruktur oleh negara. Sementara penganut kapitalis lebih tertarik kepada
civil society versi Tocqueville dimana masyarakat dapat melakukan partisipasi
mengenai pembuatan kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan dapat
saling berinterksi dengan semangat toleransi. Adapun di negara-negara
berkembang umumnya, sikap Hegelian terhadap negara merupakan pandangan yang
dominan. Di satu sisi mereka memandang negara sebagai wadah segala sesuatu yang
ideal dan di sisi lain mereka kurang percaya terhadap masyarakat sipil.
Menurut AS Hikam (1999), masyarakat sipil sebagaimana
dikonsepsikan oleh para pemikirnya mempunyai tiga ciri khusus yaitu:pertama,
adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok dalam
masyarakat, terutama saat berhadapan dengan negara.Kedua, adanya ruang
publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga
negara demi kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi
kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter. Selanjutnya akan kita
lihat bagaimana konsep civil society ini diaktualisasikan dalam konteks
Indonesia.
B. Strategi
Membangun Civil Society di Indonesia
1. Integrasi nasional dan politik.
Strategi ini
berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat
yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.
Reformasi
sistem politik demokrasi.
Strategi ini
berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu
rampungnya tahap pembangunan ekonomi.
3.
Membangun
masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi.
Strategi ini muncul
akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan
begitu strategim ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik,
terutama pada golongan menengah yang makin luas.
C.
Sejarah dan Perkembangan Civil Society di Indonesia.
Fase pertama, dikembangkan oleh:
· Aristoteles
(384-322 SM)
Civil Society dipahami sebagai
sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike,
yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam
berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia
politike digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan
etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.
· Marcus
Tullius Cicero (106-43 SM)
Masyarakat sipil atau societies civilies ,yaitu
sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah ini lebih
menekankan pada konsep negara kota (city state), yakni untuk
menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai
kesatuan yang terorganisasi.
· Thomas
Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki
kekuasaan mutlak agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat
pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
· John
Locke (1632-1704 M)
Kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah
masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah
yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi
warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Ø Fase
kedua, dikembangkan oleh:
· Adam
Fergusson (1767)
Ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis
dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi
perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya
kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.
Ø Fase
ketiga, dikembangkan oleh:
· Thomas
Paine (1792)
Ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai
kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan
dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka negara harus
dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi
kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum.
Masyarakat madani menurut Paine adalah ruang dimana warga dapat
mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya
secara bebas dan tanpa paksaan.
Ø Fase
keempat, dikembangkan oleh:
· GWF
Hegel (1770-1851 M)
Struktur sosial terbagi atas 3 entitas, yakni
keluarga, masyarakat madani dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi
pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan.
Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan
berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi.
Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi
kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap
masyarakat madani.
· Karl Mark (1818-1883)
Masyarakat madani sebagai “ masyarakat borjuis” dalam
konteks kehidupan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan
manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan
masyarakat tanpa kelas.
· Antonio
Gramsci(1891-1837 M)
Ia
tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada
sisi ideologis. Gramsci memandang adanya sifat kemandirian dan politis pada
masyarakat sipil, sekalipun keberadaannya juga amat dipengaruhi oleh basis
material.
Ø Fase
kelima, dikembangkan oleh:
· Alexis de Tocqueville (1805-1859)
Masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan
negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madani-lah yang
menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan tertwujudnya
pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka
warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara. [5]
D.
Pilar-Pilar Penegak Civil Society di Indonesia
Pilar di sini ditujukan pada lembaga atau institusi
penegak yang merupakan bagian dari sosial control.Fungsi lembaga tersebut ialah
mengkritisi kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang tertindas. Bagi tegaknya kekuatan civil
society,pilar-pilar ini menjadi prasyarat mutlak.Pilar-pilar ini
antara lain gerakan mahasiswa, lembaga sumber daya mahasiswa dan pers,
supermasi hukum dan perguruan tinggi.
Untuk konteks Indonesia, pilar yang terus
berkontribusi bagi penegakan civil society,yaitu;
a) LSM sebagai bagian dari gerakan Civil
Society
Gerakan masyarakat sipil menemui peranan
pasca-reformasi di Indonesia, itu terlihat dari banyaknya jumlah lembaga
swadaya masyarakat atau disingkat (LSM) sebagai wadah perkumpulan kegiatan
mandiri dan komunikatif yang memiliki peranan sebagai advokasi,penelitian dan
pengabdian terhadap kegiatan dan kasus-kasus di masyarakat.
Yang pertama ialah WALHI, atau biasa dikenal sebagai
wahana lingkungan hidup, berdiri tahun 1976, merupakan wadah kebersamaan LSM
yang memusatkan perhatian pada upaya pelestarian lingkungan. Yang kedua ialah
Forum Indonesia untuk Keswadayaan Penduduk (FISKA), berdiri 1983, merupakan
forum LSM yang bergerak dibidang kependudukan. Yang ketiga Forum Kerjasama
Pengembangan Koperasi (FORMASI) berdiri 1986, merupakan forum lsm yang
memberdayakan koperasi. Yayasan LBH Idonesia yang bergerak di bidang bantuan
hokum. Indonesia Corupption watch (ICW) komisi masyarakat untuk
penyelidikan korupsi.dan yang paling berpengaruh dengan keseimbangan
dan relevansinya sebagai alat kekuatan politik ialah Lingkaran Survei Indonesia
(LSI).
Memasuki di era reformasi, sejak masa itu sampai masa
kini, perkembangan lsm di Indonesia semakin pesat, visi, dan misi, pendekatan
dan isu beragam. Perkembangan LSM tidak bisa dilihat lagi secara linier mengikuti
waktu dan urusan generasi ke generasi. Maksudnya ada yang bekerja langsung
melayani masyarakat kecil dengan memperkuat kemampuan mereka, ada yang
memfokuskan kebijakan yang menguntungkan masyarakat bawah pula, ada juga yang
yang berusaha menjembatani berbagai sector : yang kuat dan yang lemah, yang
formal dan yang non-formal, dan berjalan secara serempak, tidak
sembunyi-sembunyi seperti zaman orde baru yang sangat alergi dengan organisasi
yang bersifat oposisi atau non-pemerintah.Di era keterbukaan ini
begitu orde baru tumbang, gerakan lsm ibarat jamur di musim hujan.
Menjadi tren , bahkan menjadi lahan kerja, sedang kegiatan LSM saat ini
meliputi kegiatan yang cukup luas[4] meliputi bidang-bidang lingkungan
hidup, konsumen, bantuan hokum, pendidikan dan latihan, perhutanan
social, koperasi, penerbitan, kesehatan keluarga dan program pengembangan
pertanian dan perjuangan upaya kesejahteraan kaum buruh.[5]
Menjamurnya lsm di zaman keterbukaan ini juga
menjadi problematika kedepannya, karena di situasi ekonomi dan politik yang
tidak menentu , solusi tepat pun tak kunjung datang dari kalangan lsm .
banyaknya lsm jadi-jadian ataupun lsm yang partisan mendukung
elite-elite parpol dan penguasa, bahkan adapula yang menghancurkan gerakan rakyat, itu karena
di era keterbukaan ini bentuk demokrasi yang sudah semakin terbuka dan
kepentingan ada dimana-mana, maka LSM sebagai sebuah organisasi alternative
non-pemerintahan pun tidak luput dari sarat kepentingan.
b) Pers bagian dari Gerakan Civil
Society
Pers sebagai pilar civil society merupakan institusi
penting dalam menegakkan civil society karena memungkinkan dapat mengkritisi
dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisis serta
mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga
negaranya. Hal ini pada gilirannya mengarah pada adanya independensi pers dan
mampu menyajikan berita atau informasi secara obyektif dan transparan. Di sisi
lain, pers juga banyak menemui kesulitan khususnya dalam menghadapi banyak
tekanan tatkala meliputi daerah konflik. Di samping itu, masyarakat pers juga
masih merasakan adanya upaya kalangan elite politik mengebiri kebebasan pers.
c) Organisasi Mahasiswa sebagai bagian dari
Gerakan Civil Society
.Gerakan Mahasiswa, menurut M Alfan Alfian M
merupakan fenomena yang layak dicermati karena posisinya relatif
independen dan lebih cenderung masih dominan menampakkan idealismenya. Secara
umum, dinamika gerakan mahasiswa sejak 1998 hingga 2003 terdapat beberapa
karkteristik yang melekat padanya, yakni:
1.
Gerakan mahasiswa Indonesia bagaimanapun bukan suatu
entitas tunggal, tetapi heterogen.
2.
Gerakan mahasiswa kontemporer tampak tidak bisa lepas
dari interaksinya dengan kalangan LSM, partai politik, tokoh ormas, dan
kalangan LSM, serta kalangan interest group lain,sehingga dalam melancarkan
gerakannya kerap dicurigai telah dimanfaatkan oleh pihak di luar dirinya.
Sehingga mempersulit bersatunya gerakan mahasiswa secara komprehensif, tertata
dan efektif.
3.
Mahasiswa Indonesia masih sangat terjebak pada
kubangan persoalan klasik internal,juga pada eksklusifitas serta kurang bisa
melakukan proses olah data secara optimal dalam menghadapi banyak isu. Namun
harapan besar masih ditimpakan pada mahasiswa sebagai kekuatan civil society
yang tetap kritis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Civil society atau biasa disebut masyarakat sipil
mengalami makna yang berbeda sejak akar kemunculannya yang melalui banyak fase,
pada mulanya, zaman Cicero hingga aristoteles, menyebutnya sebagai “ sekelompok
masyarakat yang mendominasi kelompok lain”, berbeda dengan konteks civil
society menurut hobbes yang melanjuti pemahaman aristoteles mengenai masyarakat
harus menjadi subjek hokum yang terikat dalam kontrak sosial atas nama Negara,
dalam pemahaman ini seolah Negara masih merupakan bagian dari masyarakat sipil.
Namun pada paruh kedua abad 18, adam ferguson dan Thomas
Paine memberi tekanan lain pada civil society, dimana dipahami sebagai dua
ententitas yang berbeda, sejalan dengan perubahan struktur politik akibat zaman
pencerahan, keduanya diposisikan secara berlawanan. Namun dalam tahap ini,
Hegel melihat civil society tidak dapat dibiarkan tanpa terkontrol, ia justru
membutuhkan control hokum, administrasi dan politik, hegel lah yang memisahkan
pengertian masyarakat sipil dan masyarkat politik,dipertajam oleh Karl Marx dan
Gramsci memandang Negara sebagai alat kepentingan kelas borjuis sekaligus dapat
mendominasi dan menghegemoni masyarakat sipil.
Namun pemahaman kontemporer civil society memiliki
akar dasar dari pemahaman Alexis de Tocqueville, yang memandang masyarakat
sipil tidak secara subordinat dengan Negara tapi lebih dari itu, yang bersifat
otonom sebagai penyeimbang intervensi Negara, pendapat inilah yang makin
dipertajam oleh Larry Diamond.Civil Society adalah suatu bidang kehidupan
sosial yang terorganisasi secara terbuka, sukarela, swa sembada, mandiri, tak
tergantung pada pihak lain, otonom dari negara dan diikat oleh tertib hukum
atau seperangkat nilai-nilai bersama. Yang memberikan kesimpulan umum tentang
civil society kekinian adalah entitas penengah yang berdiri diantara ruang
privat (privat sphere) dan negara
Civil Society sebagai gerakan sosial memiliki
bentuknya yang paling nyata pasca keruntuhan Orde Baru, dimana organisasi
masyarakat, gerakan mahasiswa, lembaga media dan pers atas nama sipil muncul
bak jamur sebagai control Negara.
Gerakan masyarakat sipil kekinian memiliki kebuntuan
saat berhadapan dengan arus globalisasi, sebab kemunculan gerakan masyarakat
sipil itu sendiri yng memberi jalan lapang arus globalisasi, itu disebabkan
lebih masyarakat sipil yang sadar politik namun tidak memiliki keinginan untuk
berkuasa, padahal untuk menahan arus globalisasi, peran Negara harus
dimunculkan, dan gerakan civil society atau masyarakat sipil tidak memiliki
kekuatan itu, ia hanya tarso bagi setiap Negara untuk terus berjalan sesuai
dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakatnya.
1.
Masyarakat
madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara
mandiri dihadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan
pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi
dan kepentingan publik.
2.
Perwujudan
masyarakat madani ditandai dengan beberapa karakteristik diantaranya wilayah
publik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan, dan keadilan
sosial.
3.
Masyarakat
madani berkembang melalui proses yang panjang yang dapat dikelompokkan menjadi
lima fase.
4.
Strategi
membangun masyarakat madani di indonesia dapat dilakukan dengan integrasi
nasional dan politik, reformasi sistem politik demokrasi, membangun masyarakat
madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi.
B. Saran
Penulis menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa
dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Referensi :
Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokasi dan Civil
Society. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Budiman
Arief, (ed). 1991. State and civil society in indonesia. Universitas.
Clyton, Victoria, Monash.
Raharjo, Dawam. 1999. Masyarakat Madani:
Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LSAF.
[5] Ubaedillah
(dkk.) 2010. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat madani. Jakarta:
Prenada Media
Posting Komentar untuk "Sistem Politik Indonesia (CIVIL SOCIETY, MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA)"
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya